Sinergi Orang Tua dan Guru Menuju Penerus Bangsa Berkualitas

Ini artikel opini pertama saya yang dipublikasikan di Harian Denpost pada tanggal 31 Mei 2016.


Miris rasanya melihat dan mendengar pemberitaan di media mengenai Nurmayani, guru Biologi di SMP Negeri 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan. Ibu guru Nurmayani harus mendekam di penjara karena dilaporkan oleh orang tua siswa karena mencubit siswa yang bermain sisa air pel dan mengenai dirinya. Yang teranyar adalah penahanan Muhammad Arsal, guru SMP Negeri 3 Benteng Selayar, Sulawesi Selatan yang dilaporkan karena menempeleng siswa yang berbuat gaduh saat sedang praktik sholat. Dan masih banyak kasus-kasus penahanan badan terhadap guru dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran yang tidak terekspos media.

Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita ini? Salah gurukah? Salah siswakah? Salah orang tuakah? Atau mungkin salah pemerintah? Menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar pada kasus-kasus ini sangatlah mudah jika kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi cobalah posisikan diri pada setiap posisi subjek pemberitaan tersebut, baik siswa, guru, orang tua, ataupun pemerintah. Mereka memiliki pembenaran dan juga kesalahan masing-masing yang masih bisa diterima nalar.

Dari sudut pandang siswa, pada kasus Nurmayani misalnya, siswa bermain selama jam istirahat adalah hal yang wajar. Tetapi menjadi tidak wajar jika bermain kebablasan bahkan jika sampai merugikan atau membuat orang lain tidak nyaman. Begitupula akan menjadi hal yang salah jika menggangu teman yang sedang belajar seperti pada kasus Muhammad Arsal.

Dari sudut pandang guru, menegur siswa yang berbuat kurang sopan adalah memang kewajiban guru. Tetapi jika sampai memberikan teguran personal secara fisik hingga menyebabkan siswa terluka tidak juga dibenarkan. Karena setiap anak di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 13 ayat 1 yang intinya menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Sedangkan dari sudut pandang orang tua, orang tua mana yang tega melihat buah hatinya terluka? Tentunya tidak ada bukan? Sebagai orang tua, tentunya mereka berhak menuntut keadilan demi putra-putrinya. Akan tetapi akan menjadi kurang tepat jika orang tua membela anaknya yang salah, atau sepenuhnya menyalahkan pihak guru, tanpa melihat bagaimana peran mereka sendiri dalam proses pendidikan anaknya selama di luar sekolah.

Dan, dari sudut pandang pemerintah, sebagai penyedia aturan, sudah membuat sistem dan aturan menyeluruh untuk semua aspek yang tinggal dijalankan oleh pelaksananya, yang dalam hal ini adalah guru, siswa, dan orang tua. Akan tetapi sistem dan aturan tersebut disusun untuk kondisi ideal, sedangkan pelaksananya adalah makluk dinamis yang tindakan dan pola pikirnya tidak bisa serta merta bisa diketahui. Dan harus dimaklumi bahwa tidak setiap saat sistem dan aturan bisa diterapkan pada kondisi ideal.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, mencari pembenaran sekaligus kambing hitam dari permasalahan ini sangatlah mudah. Tetapi bukan itu seharusnya yang menjadi fokus kita. Tentunya kita tidak ingin hal-hal seperti ini terulang kembali. Bisa jadi bermunculan Nurmayani-Nurmayani baru dan bahkan akan ada dampak yang lebih besar terhadap kualitas pendidikan kita. Siswa yang semakin menyepelekan gurunya atau kegamangan guru dalam menentukan sikap dalam mendidik sangat mungkin terjadi. Solusilah yang harus kita ajukan dalam meredam munculnya kembali masalah seperti ini.

Solusi jangka pendek dan mendesak yang harus kita lakukan adalah mensinergikan peran guru dan orang tua dalam mendidik generasi penerus bangsa kita ini. Orang tua dan guru adalah orang yang terdekat dengan kehidupan siswa. Orang tua dan guru harus se-visi dalam mendidik anak, memberi pemahaman kepada anak bahwa setiap anak berkewajiban menghormati orang tua, wali, dan guru; mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; melaksanakan etika dan akhlak yang mulia, sesuai dengan yang sudah tersurat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 19.

Praktiknya, orang tua dan guru janganlah saling menyalahkan dan jangan saling melempar tanggung jawab siapa yang lebih berkewajiban dalam mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berkualitas. Semua berkewajiban dan semua memiliki porsinya masing-masing. Dirumah, orang tua  berkewajiban memberi contoh kebiasaan-kebiasaan baik. Di sekolah, guru hendaknya jangan memberikan hukuman secara fisik yang berpotensi melukai siswa. Berikan teguran mendidik dengan bahasa yang santun, bukan dengan bahasa kasar yang berefek negatif bagi mental siswa.

Akan tetapi seringkali ada komentar sumbang, baik dari orang tua ataupun guru itu sendiri, bahwa “anak itu” terlalu nakal; “anak itu” susah diatur; atau “anak itu” sudah sering diberi pembinaan tapi tidak ada perubahan. Kembalikanlah ke kontrak kerja kita sebagai orang tua dan guru bahwa sejatinya tugas utama kita adalah merawat, membimbing, dan mendidik anak tanpa ada batas akhirnya.

Lain daripada itu, haruslah ada standar operasional yang jelas, sudah tersosialisasi, dan sudah dipahami oleh orang tua dan guru dalam menangani anak bermasalah. Ada batasan sejauh mana teguran bisa diberikan oleh guru. Ada batasan sejauh mana orang tua berhak dan wajib dalam membina anaknya. Dengan dipahami standar operasional dalam penanganan siswa bermasalah tentunya orang tua dan guru akan menyadari posisinya dalam membimbing anak-anak.

Jadi, sinergi orang tua dan guru menuju penerus bangsa berkualitas secara real bisa dilakukan dengan memahami posisi sejati kita masing-masing.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan