Bulan September lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program digitalisasi sekolah. Digitalisasi sekolah dimaknai sebagai terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dalam setiap aspek pembelajaran. Program digitalisasi sekolah ditandai dengan pemberian sarana pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi kepada sekolah yang berupa PC, laptop, LCD, router, dan harddisk eksternal, serta tablet kepada siswa. Sasaran digitalisasi sekolah dilakukan secara bertahap dengan mengutamakan kepada daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) Indonesia.
Sejalan dengan hal itu, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan atau yang lebih dikenal dengan Pustekkom yang juga berada dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin gencar menusantarakan salah satu produk besutannya yaitu Rumah Belajar. Rumah Belajar merupakan satu portal pembelajaran yang memuat ribuan sumber belajar dari jenjang PAUD hingga SMA. Dapat diakses secara online via browser ataupun via aplikasi Andorid. Dan untuk siswa di daerah 3T, disediakan versi offline dari Rumah Belajar untuk mendukung pembelajaran 4.0 yang merata bagi seluruh anak Indonesia.
Pemerintah gencar memfasilitasi pembelajaran 4.0 untuk menunjang terciptanya sumber daya manusia unggul Indonesia yang mampu bersaing di dunia global, yang wajib memiliki kemampuan berkomunikasi, kemampuan berkolaborasi, kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan massalah, serta kemampuan berinovasi dan berkreasi. Oleh karenanya siswa-siswa kita yang sebagian besar adalah siswa digital native wajib dibelajarkan untuk mempersiapkan kemampuan-kemampuan tersebut melalui kegiatan sehari-hari di sekolah. Kegiatan pembelajaran tidak lagi sekedar mendengar dan membaca dengan guru merupakan sumber informasi utama, namun siswa pun juga dapat menjadi sumber belajar, sebab di era ini guru dan siswa sama-sama berperan sebagai co-create of knowledege. Disinilah peran tekonologi akan sangat membantu kegiatan pembelajaran.
Namun ditengah hangatnya perbincangan mengenai pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, masih terdengar suara sumbang, apakah teknologi tidak akan memberikan dampak negatif bagi siswa? Teknologi bak pisau bermata dua. Yang jika tidak digunakan dalam proporsi yang tepat akan memberikan impas tidak baik bagi penggunanya. Tapi saat kita tidak mau berdamai dengan teknologi, apalagi sebagai guru, anak-anak kita yang sebagian besar terkategori sebagai anak digital native, yang memang gap antara dunia nyata dan dunia digitalnya sangat tipis, maka kebahagiaan mereka dalam belajar akan terabaikan, hak mereka untuk menikmati pembelajaran sesuai zamannya tidak terpenuhi, dan tugas kita untuk menemani mereka dalam mempersiapkan diri untuk hidup di masa depan tidak akan terlaksana dengan baik.
Guru memiliki peran sentral dalam digitalisasi sekolah. Sehingga tidaklah benar bahwa anggapan jika digitalisasi sekolah terealisasi maka guru akan tersingkirkan, guru akan diganti oleh teknologi. Padahal sejatinya teknologi tercipta untuk memudahkan bukan untuk menggantikan. Tanpa guru program ini tidak akan berdaya guna dengan baik. Dengan masuknya teknologi dalam pembelajaran bukan berarti guru tidak perlu ada mendampingi siswa dalam belajarnya, bukan berarti siswa dibiarkan tanpa batasan dalam penggunaan teknologinya. Guru tetap harus merancang pembelajaran yang memanfaatkan teknologi tetapi masih dalam koridor-koridor yang tepat yang dapat membantu siswa dalam belajarnya.
Dalam fungsi pengajaran, guru harus mampu menguasai sumber-sumber belajar dimana siswa dapat belajar dengan tepat. Guru berperan sebagai fasilitator dalam menemukan sumber belajar. Dan guru pun harus mampu menjadi filter informasi dan membendung informasi yang sekiranya membahayakan siswa. Pemanfaatan teknologi jauh lebih memberdayakan guru dalam pembelajaran bukan mengganti guru. Kegiatan tatap muka akan tetap menjadi moda utama kegiatan pembelajaran, yang akan semakin menarik dan bermakna bagi siswa dengan pemanfaatan berbagai komponen teknologi dan informasi yang tepat dan mumpuni.
Nah selanjutnya, bagaimana siswa digital dapat merasa nyaman belajar di era digital apalagi dengan program digitalisasi sekolah? Maka jawaban intinya adalah perlunya kenyamanan seorang guru terlebih dahulu terhadap program ini. Kenyamanan dalam artian bahwa guru telah menyadari dengan sepenuhnya bahwa teknologi itu penting serta bersedia mengupgrade dirinya dengan teknologi yang memang tepat dibutuhkan siswanya dan sesuai dengan karakteristik siswanya. Nyaman dalam artian minimalnya tuntutan administrasi yang hanya bersifat di atas kertas saja. Nyaman dalam mengeksplorasi kelas sesuai karakteristik siswa. Serta nyaman dalam mengakomodir siswa sesuai dengan kodrat unik mereka masing-masing.
Dan selain itu, yang tidak bisa dipungkiri sebagai bukti pentingnya guru di era digital, guru tidak hanya memiliki peran mengajar, tapi ada peran mendidik yang melekat dalam profesi guru yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi. Menemani siswa dalam proses pembentukan karakter positif, mengenalkan siswa untuk siap dalam kehidupan sosial bukan sekedar kemampuan akademis, serta mengenalkan dan membelajarkan adab dan empati tidak akan pernah bisa dilakukan oleh teknologi. Karena fungsi mendidik membutuhkan peran tauladan nyata di mata siswa, yaitu guru. Jadi guru tetap tidak akan bisa tergantikan oleh teknologi. Guru akan semakin diberdayakan dengan bantuan teknologi. Namun jika guru yang tidak bersedia berdamai dengan teknologi, kita akan dapat tergantikan oleh yang bersedia bekerja bersama teknologi. Jadi mari kita bersama sebagai guru terus mengupgrade diri demi kenyamanan generasi penerus kita dalam mengembangkan potensinya hingga siap untuk berkarya di masa depan.
——————————————————————————————————————-
Artikel ini diterbitkan di BALIPOST edisi 29 November 2019.
Tinggalkan Balasan