Ini artikel yang tidak saya publikasikan di media cetak karena alasan timing yang tidak tepat. Sayang kalau tidak di share…
****
Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.AP adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dipercayakan mengganti Anies Baswedan Ph.D dalam reshuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden Jokowi akhir bulan Juli lalu. Beberapa hari setelah menjabat, beliau melontarkan gagasan “penambahan jam sekolah” untuk jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP). Di masyarakat, gagasan ini dianalogikan dengan istilah “full day school” yang banyak menuai pro dan kontra.
Menurut penggagasnya, ide awal penambahan jam sekolah ini adalah untuk menjembatani kekosongan antara jam pulang siswa dan jam pulang orang tua ke rumah. Jadi dengan penambahan jam di sekolah ini, siswa dapat mengerjakan tugas-tugas di sekolah atau mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dapat membangun karakter siswa, sembari menunggu jemputan dari orang tua sepulang kerja.
Idealnya, kondisi ini berlaku pada siswa di daerah perkotaan, dengan orang tua yang seharian bekerja kantoran. Sistem “full day school” ini sedianya akan membantu menghindarkan siswa dari kegiatan negatif di luar lingkungan sekolah. Banyak negara maju juga sudah menerapkan sistem ini, seperti Singapura, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan lain-lain. Di Indonesia, sudah cocokkah sistem “full day school” ini diterapkan secara nasional?
Banyak hal yang harus menjadi pertimbangan dalam penerapan sistem “full day school” di Indonesia. Demografi, kultur, beban belajar, sarana-prasarana, dan kualitas pendidik beberapa diantaranya. Indonesia memiliki demografi yang disetiap daerahnya memiliki kecenderungan dan ciri khas yang berbeda-beda. Masyarakat perkotaan yang kecenderungan memiliki jam kerja yang tetap tidak bisa disamakan dengan masyarakat pedesaan yang lebih memiliki kelonggaran dalam hal ketersediaan waktu untuk mengasuh dan mendidik anak di rumah. Yang perlu mendapat perhatian adalah jangan sampai sistem ini mengurangi intensitas interaksi antara orang tua dan anak, padahal tidak bisa dipungkiri pembentukan karakter anak jauh lebih memerlukan peran orang tua.
Sama halnya juga dengan kultur, di setiap daerah di Indonesia, anak-anak memiliki kegiatan berbau kultur-budaya yang berbeda-beda yang dilakukan sepulang sekolah. Tidak semua anak tidak memiliki kegiatan positif selama jeda waktu menunggu orang tuanya pulang ke rumah. Semisal, di daerah Jawa Barat dan Aceh, hingga saat ini waktu sepulang sekolah digunakan anak-anak untuk belajar mengaji. Di beberapa daerah di Bali pun, waktu sepulang sekolah dimanfaatkan untuk mengikuti kegiatan berkesenian seperti berlatih menari atau menabuh. Bahkan tidak jarang pula, waktu sepulang sekolah dimanfaatkan oleh anak-anak untuk membantu bekerja di sawah, ladang, perkebunan, peternakan atau melakukan kegiatan lain untuk mengasah kemandirian dan kecakapan hidupnya kelak.
Dalam hal beban belajar, sekiranya sistem “full day school” ini diterapkan, maka konsep pembelajaran yang diterapkan haruslah jelas. Anak jangan diajak untuk melulu berada di dalam ruangan mengikuti kegiatan pembelajaran yang menekankan pada aspek kognitif saja. Harus juga disediakan konsep pembelajaran yang mampu merangsang dan menampung luapan kemampuan motorik dan psikomotrik anak. Karena pada usia jenjang pendidikan dasar, anak aktif dalam berkegiatan secara fisik, sehingga memerlukan penyaluran yang tepat. Melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu dan menyenangkan bisa menjadi alternatif pengisi waktu penambahan jam sekolah dibandingkan dengan memberikan pelajaran tambahan.
Terkait dengan konsep pembelajaran, tentunya harus didukung pula oleh kesiapan sarana dan guru. Penerapan “full day school” memerlukan sarana penunjang kegiatan yang memadai dan guru yang mumpuni terutama dalam hal mengelola kelas agar tidak membosankan. Yang pastinya akan membutuhkan anggaran yang besar dalam pelaksanaannya. Kita bisa lihat kenyataannya di lapangan, sekolah-sekolah yang sudah menerapakan “full day school” sebagian besar adalah sekolah elit dengan biaya operasioanal yang lumayan besar. Tanpa sarana dan guru yang tepat serta biaya operasional yang sesuai di setiap sekolah, sistem ini tidak akan menghasilkan perubahan positif yang diharapkan.
Jadi, penerapan “full day school” secara nasional memang perlu dikaji ulang. Lingkungan tumbuh kembang anak diperkotaan tidak bisa digeneralisasi pada lingkungan tumbuh kembang anak di daerah. Yang berarti kondisi di daerah perkotaan tidak tepat dijadikan pijakan untuk menetapkan kebijakan di daerah.
Tinggalkan Balasan