Menjadi Guru Milenial bagi Digital Native

Menurut Teori Generasi, terdapat 5 generasi yang berbeda sepanjang 100 tahun terakhir, yaitu Generasi Baby Boomers, Generasi X, Generasi Y, Generasi Z, dan Generasi Alpha. Generasi Baby Boomers adalah generasi yang lahir sebelum tahun 1960. Generasi X adalah generasi yang tahun kelahirannya antara tahun 1961 hingga tahun 1980. Generasi Y atau Generasi Milenial adalah generasi yang lahir sekitar tahun 1981 hingga tahun 1994. Sedangkan Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga tahun 2010. Generasi Z mendapat julukan iGenerations atau NetGenerations. Dan terakhir adalah Generasi Alpha yang lahir antara tahun 2011 hingga 2024.

Generari Z dan Generasi Alpha lahir dengan teknologi di genggamannya. Kedua generasi ini berada pada kelompok generasi digital native, sebab mereka sudah sangat fasih dengan teknologi sedari lahir. Generasi inilah yang saat ini merupakan anak-anak kita yang berada di usia sekolah. Pola pikir digital native cenderung instan. Teknologi terutama perangkat gawai bagi digital native bak kebutuhan primer. Kehidupan mereka cenderung bergantung kepada teknologi. Untuk menemukan solusi permasalahan sederhana pun mereka mengandalkan teknologi. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tidak ada yang salah pula dengan generasi tersebut. Sebab dengan perkembangan teknologi dan ketersediaan teknologi memang wajib untuk dinikmati dan dikuasai. Tetapi sebagai seorang guru, sebagai seorang pendidik, sudah siapkah kita melayani digital native?

Guru-guru kita saat ini sebagian besar berasal dari Generasi X dan Generasi Y yang termasuk ke dalam kelompok generasi digital immigrant yaitu kelompok generasi yang mengalami perkembangan pesat perubahan teknologi, dari tidak ada menjadi ada. Yang mengalami fase belum selesai mempelajari satu teknologi harus bersedia melompat dengan cepat mempelajari teknologi teranyar yang menginvasi. Yang sebagian masih terseok-seok mengikuti perkembangan zaman. Digital immigrant pada masa sekolah formalnya dulu umumnya masih menikmati suasana belajar dengan metode pembelajaran lama. Di zamannya, metode klasikal, berkompetisi di kelas, dan situasi kelas kaku dan monoton memang berhasil mencetak mereka menjadi orang-orang terbaik di bidangnya. Akan tetapi untuk yang berprofesi sebagai guru, jika masih ingin menerapkan kondisi kelas seperti yang pernah mereka alami dulu kepada digital native, maka yang terjadi adalah kebosanan dari digital native. Bagi digital native duduk diam mendengarkan penjelasan oleh guru adalah suatu siksaan berat, tanpa mereka diberikan kesempatan mengeskplorasi sendiri suatu pemahaman yang tentunya dengan bantuan teknologi.

Siswa digital native memiliki karakteristik yang bebas tidak suka terkekang oleh aturan-aturan kaku, suka bermain bukan hanya bekerja, ekspresif tidak hanya reseptif, cepat dan enggan menunggu, suka mencari sendiri bukan sekedar menunggu instruksi, suka mengunggah konten bukan sekedar mengunduh konten, interakif bukannya komunikasi satu arah, serta lebih tertarik untuk berkolaborasi dan tidak hanya berkompetisi. Tantangan besar memang bagi yang memilih profesi sebagai guru, jika tidak bersedia mengikuti perubahan dan tidak mau memahami kebutuhan digital native. Adalah hal yang keliru jika memaksa digital native mengikuti gaya belajar zaman dulu, karena dari cara berpikir, cara belajar, dan cara bersikap saja sudah berbeda. Maka yang hendaknya berubah adalah para guru yang berasal dari kelompok digital immigrant, sebab kita tidak akan dapat mengontrol perkembangan teknologi yang masif dan cepat yang memfasilitasi keseharian digital native. Digital native membutuhkan guru yang walaupun tidak murni “native”, tetapi yang menguasai teknologi selayaknya mereka. Digital native membutuhkan suasana kelas yang menyenangkan, santai tapi penuh aktivitas belajar, yang memanfaatan teknologi dengan tepat, konektivitas materi dengan keseharian nyata yang mereka alami, kolaborasi antar teman untuk berhasil meraih kesuksesan bersama, kesempatan untuk mengkomunikasikan ide dan gagasan baru dari mereka, dan tidak lupa penghargaan terhadap usaha mereka sekecil apapun itu.

Guru digital immigrant jika ingin menjadi guru milenial yang layak bagi digital native, haruslah mau mentransformasi diri dan menyesuaikan diri terhadap karakteristik dan pemahaman yang dianut digital native, yaitu belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Mereka memahami semua orang adalah guru, semua orang adalah siswa, dimanapun adalah kelas, dan kapanpun adalah jam belajar. Guru milenial bukanlah instruktur, tapi merupakan fasilitator dan partner belajar. Satu metode pemahaman konsep yang dipahami guru bukan mutlak satu-satunya cara yang benar, guru hanya salah satu fasilitator bagi mereka, ada banyak fasilitator-fasilitator lain yang bisa membantu mereka dalam mencapai pemahaman konsep tersebut. Peran guru milenial disini adalah bersedia melihat segala pemahaman siswa dari berbagai sudut pandang, mengkoreksi jika diperlukan, bukan memaksakan pemahaman mereka terhadap siswa.

Fokus pembelajaran era milenial bukan lagi tentang bagaimana seorang guru mengajar, tetapi lebih kepada bagaimana siswa dapat belajar dan menikmati proses pembelajaran. Pengintegrasian beragam teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran adalah salah satu bentuk penyesuaian pembelajaran menyesuaikan dengan karakteristik digital native. Perpaduan pembelajaran online dan tatap muka dan pastinya dengan strategi yang tepat akan membuat siswa memperoleh kebermaknaan pembelajaran. Permainan yang menarik, kegitan belajar yang eksploratif, pemanfaatan aplikasi online dan bentuk penghargaan kekinian yang melibatkan media sosial adalah alternatif pembelajaran bagi digital native. Terakhir, satu yang pasti, peran guru tidak akan bisa digantikan oleh teknologi, tetapi jika guru tidak mau menguasai teknologi, maka siswa tidak akan menemukan kebermaknaan pembelajaran di eranya. Siswa tidak belajar dari mendengar tapi melihat teladan dari gurunya, entah itu dari sudut pandang kognitif ataupun dari sudut pandang pendidikan karakter. Sudah siapkah kita menjadi guru milenial bagi digital native?

guru yang disukai digital native

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan