Geliat Sekaa Teruna Teruni dan Pendampingan Banjar dalam Pengembangan Karakter dan Budaya

Saat artikel ini dibuat, sedianya diikutkan lomba di Kemdikbud untuk tema pelibatan masyarakat dalam pengembangan budaya. Jadi tumben nulis sesuatu yang di luar bidang pendidikan sekolah.


Penulis: Ika Desi Budiarti; Terbit di: DENPOST; Tanggal: 16 Juli 2016

.

Geliat Sekaa Teruna Teruni dan Pendampingan Banjar dalam Pengembangan Karakter dan Budaya

Banjar merupakan kata yang tidak asing di Bali. Banjar merupakan organisasi kemasyarakatan tradisional Bali di bawah Desa Pekraman, yang beranggotakan krama atau warga masyarakat yang berada dalam suatu kesatuan wilayah tertentu dalam suatu ikatan tradisi yang sama secara turun-menurun. Sekaa Teruna Teruni atau yang sering disingkat menjadi STT wajar adanya di setiap banjar di Bali. Merupakan organisasi yang beranggotakan pemuda dan pemudi dari banjar bersangkutan. Esensi didirikannya STT adalah sebagai wadah pengembangan kreativitas pemuda dan pemudi banjar, serta juga sebagai sarana pelestarian budaya terutama budaya setempat.

Mengingat anggota STT sebagian besar berada pada usia sekolah, berarti anggota STT berada pada situasi belajar, terutama situasi belajar informal. Aktivitas STT akan membelajarkan dan memberdayakan anggotanya dalam aktivitas sosial kemasyarakatan dan juga aktivitas kebudayaan secara berkelanjutan. Aktivitas STT diharapkan sejalan dengan aktivitas sekolah dalam hal penanaman dan pengembangan karakter dan budaya. Dalam berkegiatan di STT banyak hal yang bisa dipelajari oleh anggotanya. Gotong royong, empati, bermufakat, dan disiplin adalah beberapa karakter yang dapat ditumbuh-kembangkan dalam berorganisasi di STT.

Banyak kegiatan STT yang mengajak seluruh anggotanya untuk bekerjasama dan bergotong-royong mensukseskan kegiatan-kegiatan tersebut. Rasa berempati jika ada anggota yang mengalami kejadian suka ataupun duka pun dikembangkan dalam STT. Dan tidak lupa dalam hal pengembangan karakter bermufakat, yang mana di setiap bulannya STT pasti mengadakan pertemuan yang diistilahkan dengan “parum” atau “sangkep”. Dalam pertemuan inilah anggota STT dibelajarkan untuk bermufakat terhadap segala sesuatu.

STT umumnya memiliki aturan yang jelas, yang berlaku untuk semua anggotanya. Yang mengatur hak dan kewajiban setiap anggotanya. Jika ada anggota yang tidak memenuhi kewajibannya akan dikenakan sanksi atau istilahnya “dedosan”. Semisal anggota STT ada melakukan kegiatan rapat, dan ada anggota yang berhalangan hadir, maka yang bersangkutan akan dikenai dedosan, seperti membayar denda senilai tertentu atau jenis pembayaran dedosan lainnya. Hal ini akan membangun karakter kesadaran, loyalitas, dan disiplin anggota STT.

Dalam berkebudayaan, STT bisa dijadikan sarana mengembangkan kreativitas budaya dan seni. Contohnya, setiap banjar di Bali umumnya memiliki seperangkat gambelan Bali yang tentunya bisa dimanfaatkan secara gratis oleh anggotan STT untuk mengembangkan bakat menabuh gambelan. Begitu pula dengan kegiatan berkesenian lainnya. Tidak lupa pula, anggota STT bisa mempelajari dan melestarikan budaya setempat melalui keikutsertaan dalam kegiatan budaya dari krama banjar, seperti membantu jika ada persembahyangan, odalan, atau kegiatan suka-duka lainnya..

Keikutansertaan STT dalam kegiatan budaya krama banjar menegaskan bahwa STT tidak bisa terlepas dari krama banjar. Seumpama STT adalah anak, maka krama banjar adalah orang tuanya. Sebagai orang tua, krama banjar merupakan kontrol sekaligus pendamping terhadap segala aktivitas STT. Dalam setiap kegiatan STT perlu pendampingan dari krama banjar agar bisa mengarahkan dan mengontrol energi muda dari anggota STT agar tidak menjadi kebablasan dan cenderung menjadi aktivitas negatif.

Krama banjar pun hendaknya melibatkan STT jika ada kegiatan yang melibatkan banjar. Hal ini merupakan bentuk kepercayaan dan media pembelajaran yang disediakan oleh krama banjar bagi anggota STT dalam berkehidupan sosial. Selain itu di tingkat yang lebih tinggi, misal Desa Pekraman, perlu dirancang suatu kegiatan yang akan melibatkan STT didampingi krama banjar yang terdapat di desa tersebut. Sebagai contoh nyata, dibeberapa daerah di Bali, akhir-akhir ini menggeliat agenda tahunan sejenis Pekan Olahraga dan Seni tingkat Desa, yang melibatkan dan membutuhkan kreativitas STT dan pendampingan krama banjar dalam pelaksanaannya. Bukan untuk mencari juara tujuannya, tapi untuk menumbuhkan solidaritas dan  baik antara anggota STT, antara anggota STT dan krama banjar, dan anggota STT dengan warga lainnya.

STT akan tetap eksis, selama masih ada banjar di Bali. STT akan mampu membantu pengembangan karakater positif anggotanya selama STT tetap berkegiatan yang positif dengan pendampingan penuh krama banjar. STT bukan sekedar geng atau tempat kongkow anak muda, tetapi lebih tepat sarana penyaluran kreativitas kawula muda. STT berkualitas akan mencerminkan banjar yang berkualitas pula.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan